Rabu, 07 April 2010

Akhir Perjalanan UU BHP


MAHASISWA menang lagi. Gerakan mahasiswa menolak UU Nomer 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan ( UU BHP) berhasil. MK membatalkan secara keseluruhan UU yang dinilai dengan sarat kapiltalisme itu. UU BHP dinilai tidak memenuhi unsur keadilan bagi warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Karena UU BHP lebih berpihak kepada orang-orang berduit. Rakyat yang hidupnya pas-pas-pun hanya bisa 'ngelus dada terhadap UU ini. Bersyukurlah, mahasiswa masih peka. Bersyukurlah, mahasiswa masih gigih dalam memperjuangkan sesuatu yang dianggapnya telah melanggar norma-norma keadilan. Bukan hanya itu, pasal 53 di UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi acuan UU BHP, juga dibatalkan.

Khusus UU BHP, memang banyak pertimbangan sehingga MK membatalkannya. Dalam konsideran putusan, MK  berpendapat bahwa bentuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) atau Badan Hukum Pendidikan Tinggi Pemerintah (BHPP) BHPP, serta Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah (BHPPD) yang diatur dalam UU BHP, tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.


MK bahkan berpendapat aturan itu menimbulkan ketidakpastian hukum. Padahal menurut UUD 1945, negara mempunyai peran dan tanggung jawab yang utama. Dalam pertimbangannya MK juga berpendapat, dalih Pemerintah bahwa dengan adanya UU BHP maka penyelenggara pendidikan akan menjadi lembaga nirlaba, harus dilihat secara kritis.

Pada bagian lain pertimbangan putusan MK berpendapat, ada hal yang berbeda antara nonprofit dan biaya pendidikan yang terjangkau dimana yang terakhir adalah menjadi masalah dalam pendidikan nasional. Menurut majelis, suatu penyelenggara pendidikan mungkin saja lembaga yang nirlaba yaitu tidak bermaksud untuk mendapatkan keuntungan tetapi hal demikian tidak  menjadikan secara serta merta lembaga tersebut tidak menjadi lembaga berorientasi komersial.

Karenanya dengan tegas MK menyatakan :"Pengelolaan dana secara mandiri dan prinsip nirlaba seperti ditegaskan pada Pasal 4 ayat (1) UU BHP, tidak secara otomatis menjadikan pendidikan murah bagi peserta didik".

Putusan MK itu jelas disambut dengan tepuk sorak para pihak yang keberatan. Sedari awal, UU ini memang sudah memicu kontroversi. UU BHP dianggap tidak hanya memberikan otonomi bagi PTN tetapiu sekaligus liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Akibatnya, pertanyaan publik yang lebih menonjolkan kekhawatiran tentang komersialisasi pendidikan pun seolah menemukan jawaban. Biaya kuliah semakin melambung.

Kalangan mahasiswa yang selama ini kritis dengan UU BHP pun bersorak. Kalangan mahasiswa berharap pembatalan UU BHP akan berimplikasi langsung pada biaya pendidikan yang kian tak murah lagi. "Jika UU BHP ini tidak dicabut, potensi kesewenang-wenangan akan terus ada," ujar Ketua Badan Eksekutif BEM UGM M Arif Fibrant.

Suara optimis atas putusan MK itu juga datang dari Asosiasi Badan Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI). Ketua ABPPTSI Prof Dr Thomas Suyatno  menyatakan, putusan para hakim konstitusi itu telah benar-benar menyelamatkan dunia pendidikan Indonesia. Maklum saja, PTS memang sangat berkeberatan dengan keberadaan UU BHP. Karenanya pula, kalangan PTS mengajukan uji materi UU BHP ke MK.

Menurut Thomas Suyatno, UU BHP memang diskriminatif terhadap PTS. Bahkan banyak PTS yang didirikan atas semangat pengabdian oleh sebuah yayasan, direduksi oleh UU BHP. Padahal, ribuan PTS yang berdiri di negeri ini karena peran swasta. Sebut saja yang didirikan Muhammadiyah, atau yayasan keagamaan lainnya baik Katholik, Kristen maupun Hindu dan Budha.

Kalangan PTN tentunya berkecut hati dengan pembatalan itu. Pasalnya, UU ini sangat diandalkan agar PT khususnya PTN bisa mandiri dalam hal sumber dana tanpa mengandalkan subsidi. Tapi apa lacur, palu sudah diketok dan perintah MK pun jelas : UU Nomor 9 Tahun 2009 tidak mempunya kekuatan hukum mengikat!.

Lantas apa sikap pemerintah? Pemerintah mengakui putusan itu memang akan berdampak besar. Tetapi soal langkah konkritnya, pemerintah belum bersikap.

Menteri Pendidikan Nasional (M Nuh) baru menyatakan bahwa pihaknya akan mengikuti putusan MK tersebut. Namun langkah selanjutnya, Mendiknas akan mempelajari terlebih dulu putusan MK itu. Bagaimanapun, pemerintah memang menjadi pelaksana UU dan selama ini PTN yang ada selama ini menggunakan UU BHP sebagai landasan. "Kita ikuti putusan MK," tandasnya.

Yang pasti, pembatalan oleh MK itu membuat kekosongan payung hukum. Karenanya tak salah jika DPR sebagai pemegang kekuasaan dalam pembuatan UU diminta segera berkonsultasi ke MK paska pembatalan UU BHP. "Segera lakukan konsultasi ke MK untuk memperoleh pemahaman yang benar atas keputusan tersebut,” cetus anggota Komisi Pendidikan DPR asal F-PDIP Tubagus Dedy Suwandi Gumelar.

Tetapi bagi masyarakat, persoalannya bukan sekedar payung hukum itu ada atau tidak. Tetapi bagaimana agar pendidikan tetap terjangkau dan masyarakat dari kelas bawah pun tetap bisa menikmati pendidikan murah. Sebut saja jika orang tua yang ingin anaknya masuk sebuah jurusan non-eksata di sebuah PTN, harus merogoh kocek hingga  puluhan juta rupiah. Kalaupun ada juga yang biaya masuknya agak murah, taruh kata Rp 5-7 juta, tetap saja itu bukan sesuatu yang murah. Terlebih lagi, belum tentu jurusan yang berbiaya murah itu diingini calon mahasiswa.(ara/jpnn)

*from: http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=61668

0 komentar:

Posting Komentar

Sorotan


ShoutMix chat widget